6 Cara Mempengaruhi Orang Lain Menurut Profesor Psikologi dan Marketing
Bagaimana caranya mempengaruhi orang lain? Supaya barang atau jasa kita dibeli misalnya. Atau supaya permintaan kita dipenuhi. Atau supaya saran kita dilaksanakan.
Haruskah dengan cara baik-baik? Atau dengan intimidasi? Atau dengan memelas mungkin? Memohon-mohon? Atau dengan memberikan uang?
Jawabannya ada di buku Influence: The Psychology of Persuasion. Buku ini ditulis oleh Robert B. Cialdini, profesor psikologi dan marketing di Amerika. Dan demi buku ini, sang penulis rela menghabiskan waktu 3 tahun untuk menyamar dan menyusup ke dalam organisasi yang hidup matinya bergantung pada penjualan. Dalam kata lain, bergantung pada keberhasilan mereka mempengaruhi orang lain.
Dia masuk ke tim penjual ensiklopedia, vaccuum cleaner, fotografi, dan les dansa. Dia bahkan masuk ke agensi advertising, public-relations, dan fund-raising. Alhasil, Robert B. Cialdini mempelajari langsung ribuan taktik penjualan yang ujung-ujungnya selalu jatuh ke dalam 6 prinsip.
Mari kita bahas satu-satu.
1. Reciprocation
Reciprocation artinya timbal balik atau mengembalikan sesuatu yang orang berikan. Contohnya membalas pujian dari teman dengan pujian juga. “Eh, makasih yang lebih cantik!” Kamu dipuji dan kamu merasa harus memuji balik. That’s reciprocation.
Menurut riset, kita akan lebih bersedia menolong orang kalau kita sudah diberi pertolongan duluan oleh orang tersebut. Dan cara ini tetap berhasil bahkan ketika orang tersebut hanya menolong kita dengan cara membelikan minuman (padahal tanpa diminta!). Dan cara ini tetap berhasil BAHKAN ketika kita tidak suka kepada orang tersebut.
Luar biasa…
Yes, ini konsep “gak enakan.” Jadi kalau kamu ingin meminta sesuatu dari orang lain, kamu harus membuat orang lain merasa “gak enakan” terlebih dahulu.
2. Commitment and Consistency
Kenapa “menepati janji” dianggap penting? Karena kita, manusia, tidak suka dengan orang tidak konsisten dengan kata-kata sendiri. Orang yang seperti itu kita anggap lemah, tidak tegas, dan bermuka dua.
Bayangkan kamu sedang bekerja di Starbucks dan kamu ingin ke toilet. Tapi kamu tidak ingin membawa laptopmu ke dalam toilet. Jadi kamu meminta tolong kepada Mbak-mbak di sebelahmu untuk menjaga laptopmu selama kamu buang air.
Kalau tiba-tiba ada orang yang ingin mencuri laptopmu, akankah Mbak-mbak ini menghentikan sang maling?
Menurut riset yang dilakukan oleh Thomas Morist, seorang psikolog, jawabannya iya. Padahal mereka yang dimintai tolong paham betul resiko berurusan dengan maling. Sebaliknya, orang yang tidak dimintai tolong, alias tidak diminta komitmennya, biasanya enggan menghentikan maling yang sedang beraksi. Kenapa? Karena mereka tidak berkomitmen apa-apa.
Jadi jebaklah orang yang ingin kamu pengaruhi dengan komitmen kecil, dan dia pasti akan bilang “iya” juga pada komitmen besar. Mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur bilang iya di awal, kan? Malu kalau bohong.
3. Social Proof
Apakah kamu tahu bahwa jumlah kejadian bunuh diri biasanya meningkat setelah media memberitakan kejadian bunuh diri?
Ini namanya “Werther effect.” Werther adalah nama karakter utama dalam buku karangan Goethe yang bunuh diri di penghujung cerita. Tidak lama setelah buku itu terbit, tingkat bunuh diri di Eropa langsung meningkat seakan-akan ada virus yang melanda. Buku itu bahkan sampai dilarang di beberapa negara.
Manusia selalu melihat ke manusia lain sebelum mengambil keputusan.
Inilah alasannya kenapa mangkok penyimpan tip di café tidak pernah kosong. Dan kenapa di website motivator selalu ada testimoni (belum tentu asli). Dan kenapa di acara musik murahan ada penonton bayaran. Mereka ingin menciptakan (memalsukan) “social proof” agar kita tidak ragu dalam mengambil keputusan.
Siapkan testimoni atau apa pun yang membuat orang lain merasa tidak sendiri ketika kamu ingin mempengaruhi orang.
4. Liking
Kita cenderung mengiyakan sebuah permintaan kalau permintaan itu datang dari orang yang kita kenal dan suka.
Tahu Tuppwerware?
Tupperware menjual produk dengan cara mengadakan “house party” di rumah Ibu-ibu yang bersedia menjadi tuan rumah (mereka bagi hasil dengan tuan rumah). Tujuannya supaya para tamu seakan-akan membeli barang dari teman sendiri, seorang teman yang kemungkinan besar mereka sukai.
Dan “suka” atau liking di sini bukan hanya suka dari segi kenal atau tidak, tapi juga dari segi ketampanan dan kecantikan. Menurut riset, kita otomatis memberikan penilaian baik seperti baik hati, jujur, dan pintar kepada orang yang “good-looking.”
Jadi kalau kamu ingin mempengaruhi orang, pastikan orang itu menyukaimu baik dari segi fisik maupun emosional.
5. Authority
Pendapat profesor pasti akan lebih dihargai dibandingkan pendapat lulusan S1. Ini karena “authority” atau bisa juga disebut kekuasaan atau keahlian.
Kenapa artis rela mengunjungi dokter bedah di luar negeri padahal di Indonesia juga ada? Karena yang di luar negeri itu bukan dokter biasa, melainkan dokter ahli yang sudah praktek selama puluhan tahun.
Dan inilah alasan kenapa iklan di televisi menggunakan dokter sebagai model. Atau menggunakan dokter untuk kalimat “9 dari 10 dokter menyarankan produk ini.” Kalau dokter saja sudah setuju, kenapa kamu masih ragu?
Kamu harus menjadikan dirimu seorang ahli (atau memalsukan keahlian juga boleh) kalau kamu ingin mempengaruhi orang lain. (Oh, dan numpang nama juga boleh.)
6. Scarcity
Kenapa Midnight Sale di H&M atau Zara begitu menggoda? Karena diskon sebesar itu cuma terjadi setahun sekali. Dalam kata lain, diskon sebesar itu “langka.”
Pernah lihat timer countdown di website motivator yang menjual e-book atau seminar? Mereka sengaja melakukan itu untuk membuat apa yang mereka jual seakan-akan langka. “Jangan sampai ketinggalan! Udah mau habis nih!” Padahal ketika waktunya habis kita pasti masih bisa beli.
Semakin langka suatu barang atau jasa, semakin besar juga rasa ingin memiliki kita. Kita takut ketinggalan.
Jadi buatlah dirimu atau apa pun yang ingin kamu tawarkan ke orang lain terlihat langka. Orang akan lebih sulit menolak.